Tragedi Kerusuhan Sumbawa pada selasa 22 januari 2013 lalu, masih menyisakan rasa takut dan trauma. Bukan hanya trauma yang dialami oleh korban kerusuhan (etnis Bali di Sumbawa), namun masyarakat Sumbawa sendiri merasakan hal yang sama.
Rasa takut dirasakan oleh masyarakat sumbawa yang menyaksikan
kebrutalan pada hari tu. Penjarahan yang disertai dengan pembakaran toko dan
rumah etnis bali yang sama sekali tidak tau menau dengan persoalan sebenarnya. Peristiwa
ini amat mencoreng muka dan nama baik masyarakat Sumbawa yang cinta damai.
Masih teringat di benak kami ketika pasien RSUD Sumbawa terpaksa
dievakuasi ke bandara Sultan Kaharuddin Sumbawa. Lantaran khawatir kerusuhan
disertai pembakaran akan merembes ke RSUD yang Jaraknya sangat dekat. Semua
pasien termasuk bayi yang baru lahir dibantu oleh keluarga masing-masing
berhamburan keluar dari RSUD untuk dipindahkan ke tempat yang lebih aman. Ada pasien yang dievakuasi
dengan menggunakan truk TNI dan ada pula pasien yang terpaksa berjalan kaki
karena kalut dengan situasi yang mencekam. Tentu saja peristiwa ini membuat
kondisi mereka malah semakin menurun dan menyisakan trauma.
Setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa
ini.
Pertama, begitu mudahnya
masyarakat terprovokasi dengan isu yang belum jelas permasalahannya. Isu SARA yang
dengan cepat menyulut amarah telah membutakan logika masyarakat Sumbawa.
Kedua, Komunikasi terbuka
yang tidak berjalan dengan baik antara aparat penegak hukum dengan masyarakat
yang menginginkan keterbukaan. Apalagi ini menyangkut persoalan hilangnya nyawa
seseorang yang melibatkan anggota penegak hukum itu sendiri. Sehingga timbul
rasa tidak percaya dan rasa putus asa dari keluarga korban yang berujung pada
pelampiasan sakit hati kepada etnis lain yang tidak tahu menau persoalan
tersebut.
Ketiga, Meski hasil otopsi
dari dokter independen telah menyampaikan hasil bahwa korban meninggal karena kecelakaan
lalu lintas. Namun isu Perkosaan dan pergaulan bebas menjadi hal yang perlu
diperhatikan supaya kita bisa menjaga diri dan keluarga kita. Sebut saja
pergaulan antara si korban dengan tersangka yang menjalin hubungan asmara
padahal keduanya memiliki agama dan keyakinan berbeda. Sehingga masalah pribadi
berujung pada persoalan SARA dan merugikan semua pihak.
Keempat, Pemimpin yang tidak
didengar kata-katanya oleh rakyat terbukti tidak mampu meredam situasi genting
seperti ini. Jika dikaitkan dengan keberadaan café Batu Gong yang mendapat
penolakan keras dari masyarakat Sumbawa. Pemerintah dianggap tidak punya kuasa
menghilangkan café batu gong. Sehingga rasa percaya masyarakat kepada
pemimpinnya berkurang. Justru dengan adanya peristiwa ini barulah café batu
gong diratakan dengan tanah. Sungguh harga yang sangat mahal untuk
menghilangkan café batu gong.
Semoga persitiwa ini tidak akan terulang lagi di masa-masa mendatang.
Dan persoalan segera terselesaikan sehingga pihak keluarga bisa mendapatkan
keadilan. Yang lebih penting saat ini adalah membantu saudara-saudara kita di
pengungsian sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
Damailah Sumbawaku !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar