Oleh : MUFTI
JAUHARI ALHUSNI
Mengawali pembicaraan ini perlu
digaris bawahi keharusan pemisahan antara agama dan pemeluk agama seperti
ucapan Syekh Muhammad Abduh “Al-islam Mahjub Bil Muslimin” (Keindahan ajaran
Islam ditutupi oleh kelakuan sementara umat Islam).
Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap dan aktivitas pemeluknya. Puncak dari prinsip itu adalah tauhid. Di sekelilingnya beredar unit-unit bagaikan planet-planet tata surya yang beredar di sekeliling matahari, yang tidak dapat melepaskan diri dari orbitnya. Unit-unit tersebut antara lain :
Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap dan aktivitas pemeluknya. Puncak dari prinsip itu adalah tauhid. Di sekelilingnya beredar unit-unit bagaikan planet-planet tata surya yang beredar di sekeliling matahari, yang tidak dapat melepaskan diri dari orbitnya. Unit-unit tersebut antara lain :
- Kesatuan alam semesta, dalam arti Allah menciptakannya dalam keadaan yang amat serasi, seimbang di bawah pengendalian Allah Swt, melalui hukum-hukumNya.
- Kesatuan kehidupan, bahwa kehidupan duniawi menyatu dengan kehidupan ukhrawi, sukses atau gagalnya ukhrawi ditentukan oleh duniawi.
- Kesatuan ilmu, tidak adanya pemisahan antata ilimu-ilmu Agama dan ilmu-ulmu umum, karena semuanya bersumber dari Allah Swt.
- Kesatuan iman dan rasio, antara iman dan akal masing-masing mempunyai wilayah hingga harus saling melengkapi.
- Kesatuan agama, Agama yang dibawakan oleh para nabi semuanya bersumber dari Allah Swt. Prinsip-prinsip pokoknya tidak berubah samapai sekarang.
- Kesatuan individu dan masyarakat , masing-masing harus menunjang.
Dari
prinsip-prinsip di atas kita dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan positf
dalam masyakat, karena islam memperkenalkan diri sebagai agama yang sesuai
dengan setiap waktu dan tempat. Islam mempersilahkan umatnya untuk mengembangkan
ilmu, menggunakan akalnya menyakut segala sesuatu yang berada dalam wilayah
nalar, namun harus kita ingat bahwa jangankan alam yang begitu luas, diri kita
sendiripun belum sepenuhnya kita kenal.
Islam tidak menghalangi kita untuk memperoleh harta yang banyak. Bahkan harta yang banyak dinamainya khair (baik) dalam arti perolehan dan penggunaannya harus dengan baik. Islam juga tidak melarang umatnya untuk senang-senang di dunia, namun yang harus kita garis bawahi bahwa kesenangan dunia tidak haqiqi, oleh karena itu janganlah kesenangan dunia sampai melegahkan kita dari kesenangan yang haqiqi (kesenangan akhirat) atau melengahkan kita dari kewajiban kepada Allah dan masyarakat.
Umat Islam
di perkenalkan dalam Alqur’an sebagai ummatan washatan (umat pertengahan),
yaitu umat yang tidak larut dalam spritualisme tetapi tidak pula hanyut dalam
materialism. Seorang muslim memenuhi kebutuhannya dan mewarnai kehidupannya
bukan ala malaikat, tetapi tidak juga ala binatang. Hubungan seks adalah
hubungan yang dibenarkan dalam islam, tetapi karena manusia adalah makhluk yang
terhormat tersusun atas jasmani dan rohani maka hubungan tersebut harus pula
menjadi hubungan lahir dan batin oleh karena itu harus dikukuhkan atas nama
Allah melalui aqad yang sah berdasarkan hukum syara’, dan selanjutnya akan
menjadi ibadah sebagai pemenuhan sunnah rasul.
Manusia adalah makhluk paling mulia di alam jagad raya yang ditundukkan Tuhan kepadanya. Ia diberikan kelebihan atas makhluk lainnya, tetapi sebagian kelebihan dan keistimewaan itu (materiel-immateriel) diperoleh melalui bantuan masyarakat. Bahasa dan adat istiadat adalah produk masyarakatnya. Keuntungan materiel tidak mungkin akan didapat tanpa bantuan masyarakat.
Kalau demikian, maka wajar jika hak asasi manusia dikaitkan dengan kepentingan masyarakat serta ketenangan orang banyak. Pandangan Barat menyatakan : “Anda boleh melakukan apa saja selama tidak melanggar hak orang lain”, tidak sejalan dengan tuntunan moral Al-qur’an yang menyatakan “Hendaklah Anda mengorbankan sebagian kepentingan Anda guna kepentingan orang lain.
Mereka (kelompok Anshar ) mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sekalipun mereka dalam kesusahan. Siapa yang memelihara dari kekikiran dirinya, mereka dalam kekikikran dunianya, mereka adalah orang-orang beruntung (QS Al-Hasyr [59]:
Bagaimana dengan masyarakat Islam Sumbawa dalam Kehidupan Modern ?????
Sesuai
dengan falsafah “Adat barenti ko syara’, syara’ barenti ko kitabullah”, taket
ko nene kangila boat lenge maka hal tersebut harus tercermin dalam kehidupan
kita (adap edap kateman parange kita). Akan tetapi dalam kehidupan modern
sekarang ini sebagian dari kita meninggalkan sendi-sendi kehidupan yang
dimaksud, ini terbukti dengan kecenderungan generasi kita pada hal-hal yang
bersifat duniawi saja nilai moral agama dan budaya kita yang samawi berada di
nomor ke-sekian, kadang kala orang tua pun lebih ya satingi ila bao dunia ke
dosa doraka ko Nene’.
Akankah
masyarakat kita akan mendapati ajalnya ???
Pemuda,
gubahlah dunia dengan Ilmumu, sinarilah zaman dengan imanmu (M. Natsir). Maka
keberlanjutan masyarakat kita dengan segala asesoris budayanya tergantung dari
kita orang yang akan mewarisinya, apa dan bangaimana kita membentuk pribadi
sehingga kita tidak menjadi masyarakat yang kehilangan identitas (identitas
Agama dan identitas budaya). Menjamah perubahan dengan tetap mempertahankan
identitas budaya sangat diperlukan kekuatan iman dan taqwa sebagai pelindung
dari pengaruh buruk yang datangnya secara bersamaan, tetapi tidak juga kita
sadari bahwa kadang kala kita sendiri yang merusak tatanan nilai budaya yang
ada (sesuai dengan ungkapan Syekh Muhammad Abduh di atas). Ada banyak hal-hal
buruk yang saya sendiri malu untuk memaparkannya dalam tulisan ini, namun itu
yang harus kita sadari dan kita harus tetap bermuhasabah hingga adanya
perubahan pada diri pribadi kita.
Sebagian dikutip dari Buku Wawasan Al-Qur’an. Quraisy Shihab (Dari berbagai sumber)
Sebagian dikutip dari Buku Wawasan Al-Qur’an. Quraisy Shihab (Dari berbagai sumber)
Semoga Bermanfat,,,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar