KITA SERING MENGANGGAP REMEH BENDERA KITA
SENDIRI
Tentu kita semua sepakat dengan pepatah yang mengatakan
“bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”.
Sehingga menjadi kewajiban kita untuk tetap mempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ada banyak cara untuk menunjukkan penghargaan
kita terhadap para pahlawan yang telah merebut kemerdekaan negara ini. Tentu hal
yang paling sederhana dan sering terngiang ditelinga kita (sejak masa kanak-kanak)
adalah dengan mengisi kemerdekaan. Mengisi kemerdekaan juga banyak caranya, bisa
dengan melakukan perubahan-perubahan ke arah kemajuan yang lebih baik atau
bahkan berdiri di barisan paling depan sebagai tameng ketika martabat bangsa kita
dihina atau dicaplok perbatasan/wilayah kekuasaan kita. Namun pada
kenyataannya, setelah kita merdeka keadaan bangsa ini justru tidak sesuai
dengan apa yang dicita-citakan oleh syuhada-syuhada kita terdahulu. Sekali lagi
ingin saya katakana “walaupun masa penjajahan telah berganti dengan alam
kemerdekaan, tapi keadaan tidak begitu membaik seperti yang dicita-citakan para
pahlawan kita.
Kalau kita berbicara tentang idealisme, dulu rakyat rela
mati demi mempertahankan NKRI. Tapi sekarang malah rakyat yang rela mati demi menghancurkan
NKRI seperti yang dilakukan para teroris dan pelaku bom bunuh diri. Semua kita
pasti tahu sebab dari hal tersebut yaitu rasa keadilan yang tidak mereka
dapatkan (persoalan nasionalisme). Namun saya ingin berbicara dari hal paling
sederhana yang terjadi selama ini. Hal kecil yang kita anggap sepele ternyata
telah menghilangkan kesadaran kita betapa kita telah mencoreng bangsa sendiri
dengan tidak menghargai “bendera kebangsaan kita”.
Mencermati UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, akan membangkitkan semangat kita
untuk cinta kepada negeri ini. Negeri yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa
selama berabad-abad lamanya. Simak saja dialektika sejarah perjuangan bangsa
kita, rasa kecintaan yang besar kepada negeri atau yang dikenal dengan
NASIONALISME yang begitu dalam tertanam disanubari rakyat Indonesia, “Tapi Itu
Dulu”. Banyak media dan cara yang dijadikan sarana pengobar semangat
nasionalisme pada waktu itu, misalnya dengan mengibarkan bendera merah putih
disetiap sudut kota, desa, bahkan disetiap rumah-rumah tanpa rasa takut
sedikitpun akan bahaya yang dihadapi karena masih dalam suasana peperangan. “Tapi
Itu Dulu”. Mari kita simak beberapa hal di bawah ini. Dimana kita telah
melakukan banyak pelanggaran terhadap bendera kebangsaan kita.
UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan ini disahkan pada 9 Juli 2009. UU 24/2009 ini
secara umum memiliki 9 Bab dan 74 pasal yang pada pokoknya mengatur tentang
praktik penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa dan lambang negara,
serta lagu kebangsaan, berikut ketentuan–ketentuan pidananya.
Bendera
Pasal 24 a jo Pasal 66
Setiap orang dilarang: (a) merusak, merobek,
menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai,
menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp.
Dari pasal di atas, sangat nampak bahwa telah terjadi
pelanggaran besar terhadap penggunaan bendera negara. Dimana demontrasi-demontrasi
yang terkadang anarkis, berujung pada pembakaran bendera merah putih sebagai
panji bangsa. Sungguh perbuatan yang bertolak belakang dengan nasionalisme dan
kesantunan masyarakat timur. Walaupun tindakan dari aparat sudah sesuai dengan
perundang-undangan dengan memberikan sanksi yang berat kepada pelaku pembakar
bendera merah putih, namun alangkan ironisnya ketika kita sendiri yang tidak
menghargai bendera bangsa bahkan merusak symbol dan lambang negara. Bukankah seharusnya
hal ini bisa dicegah.
Pasal 24 b atau c atau d atau 3 jo
Pasal 67
Setiap orang dilarang: (b) memakai Bendera Negara untuk
reklame atau iklan komersial; (c) mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek,
luntur, kusut, atau kusam; (d) mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka,
gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera
Negara; dan (e) memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus
barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp.
100.000.000,00
Pasal ini juga mengatur dengan sangat jelas tentang
penggunaan bendera merah putih. Bahwasanya bendera sebagai lambang dan mewakili
martabat bangsa, punya perlakuan khusus dan terhormat (meski ia hanya sebuah
kain). Tetapi pada kenyataannya, banyak diantara kita memperlakukannya dengan
tidak terhormat dan hanya menganggapnya sebagai selembar kain belaka. Di beberapa
kantor pemerintah dan perusahaan swasta maupun BUMN sering kita melihat bendera
yang dikibarkan dalam keadaan robek, kusam bahkan warnanya sudah tidak jelas
lagi. Bahkan ada lagi yang tidak mengibarkan bendera samasekali. Sebaliknya,
ada juga yang mengibarkan bendera selama 24 jam penuh sejak pertama kali
dikibarkan, sehingga bendera sobek/luntur dengan sendirinya akibat terik panas
dan hujan. Padahal perbuatan ini sudah jelas melanggar pasal di atas. Mungkinkah
mereka merasa belum merdeka ataukah mereka lupa bahwa mereka telah merdeka dan
ataukah mereka tidak tahu samasekali tentang perlakuan terhada symbol negara ini.
Dari sisi lain ada orang yang justru mempunyai pandangan berbeda
terhadap persoalan ini, UU ini dianggap mempunyai keanehan tersendiri, misalkan
pengaturan tindak pidana dalam penggunaan bendera, ketentuan lama dalam Pasal
154 a KUHP malah tidak dicabut padahal ketentuan ini pada pokoknya mempunyai
kemiripan pada Pasal 24 a UU 24/2009. Hal ini dapat menyebabkan duplikasi
tindak pidana hanya menyangkut persoalan perumusan norma delik yang sama.
Ketentuan pidana dalam UU 24/2009 juga mempunyai “gejala”
over kriminalisasi tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan
daya kreativitas dari masyarakat seperti mengkriminalkan tindakan mengibarkan
Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam. Gejala over
kriminalisasi disini merupakan akibat dari ketiadaan landasan filosofis dalam
perbedaan perumusan norma ancaman pidana.
Walaupun terdapat perbedaan dalam pandangan, saya mengajak kepada
para pembaca untuk lebih menunjukkan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi
kepada symbol negara sendiri. Karena sesungguhnya para pahlawan kita
memperlakukan bendera merah putih sama seperti nyawa mereka. Saya juga berpesan
kepada Bapak/Ibu yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan penanaman nila terhadap
makna dan bendera sebagai lambang Negara harus dilakukan dan dimatangkan mulai
dari usia dini hingga dewasa. Semoga tulisan ini menggugah hati kita.(Jul dari berbagai sumber)