SEPEKAN DI ARENA PACUAN KUDA, SUMBAWA (JUNI 2012)
Sebelumnya, kami pernah menulis
tentang pendidikan dan kebudayaan yang tidak dapat terpisahkan. Pendidikan
seyogyanya diberikan sejak masa kanak-kanak hingga dewasa bahkan pendidikan itu
akan selalu menyertai sampai manusia menemui ajalnya. Nampaknya, budaya
yang dipertahankan oleh masyarakat pulau sumbawa (Pacuan Kuda) tidaklah
berjalan selaras dengan pendidikan. Pendidikan beberapa anak bangsa yang
sengaja di jadikan joki oleh orang tuanya amat memperihatinkan. Kita tahu bahwa
pendidikan itu bukan hanya dilingkungan formal saja, namun lingkungan keluarga,
bermain dan lingkungan sosial di masyarakat juga sangat besar pengaruhnya dalam
membentuk karakter anak bangsa. Orang tua yang menyertakan anak mereka dalam
hobi pacuan kuda tentu bukanlah perilaku yang baik. Malah mengorbankan hak anak
untuk mendapatkan pendidikan di bangku sekolah. Tidak kurang dari satu minggu
setiap kali ada pelaksanaan pacuan kuda, anak-anak (joki kuda) tidak
bersekolah hanya karena iming-iming upah (Uang). Dengan kata lain,
merekalah yang mencari nafkah untuk keluarganya meski mereka masih anak-anak.
Nasib anak-anak usia sekolah ini
yang seharusnya menerima pendidikan formal seolah-olah dipaksa membantu orang
tua mencari uang dengan profesi sebagai joki cilik di arena pacuan kuda.
Padahal tidak seharusnya anak-anak seusia itu berada di arena pacuan kuda
melainkan berada di sekolah untuk menuntut ilmu.
Ketimpangan ini akhirnya
menggelitik kami untuk crosscek ke lapangan. Terlihat kerumunan anak usia SD
maupun SMP menjadi penonton setia di arena pacuan kuda. Yang lebih memiris
hati, mereka juga membaur dengan para orang-orang tua yang sedang berjudi di
arena pacuan kuda. Sehingga tidak heran jikalau mereka (anak-anak) juga
telah menjadi penjudi di arena pacuan kuda.
Keadaan ini telah berlangsung
sekian lama dan dibiarkan saja seperti ini. Kompetisi pacuan kuda di kerato
(arena pacuan) yang kami tahu selalu menyertakan kuda-kuda pacuan dari seluruh
pulau sumbawa, bahkan tidak jarang ada kuda yang datang dari pulau lombok dan
pulau bali. Tentu saja, ada andil yang sangat besar dari pemegang kekuasaan (si
pemberi ijin pertandingan) sebelum kompetisi pacuan kuda dilaksanakan.
Namun, kami menyangsikan apakah mereka tahu manfaat dan mudaratnya
dari arena pacuan tersebut walaupun ijin selalu dikeluarkan. Barangkali selama
ini kebanyakan kita hanya tahu bahwa pacuan kuda hanya sekedar olahraga. Namun
kita tidak semuanya tahu kalau di arena tersebut terjadi "Perjudian"
secara terang-terangan. Padahal perjudian terbuka seperti itu jelas-jelas
melanggar hukum. Namun sayangnya keadaan ini terus saja berlangsung di arena
yang juga terdapat pihak keamanan berseragam dari institusi resmi di negara
ini.
Kurang lengkap rasanya,
jikalau kami belum berbicara tentang pembentukan karakter anak di arena pacuan
kuda. Di sini, pertumbuhan anak secara fisik maupun psikologi, sangatlah jauh
dari nilai-nilai dan norma yang selalu kita jadikan landasan berbangsa dan
bernegara.
Untuk seorang joki cilik,
bayaran yang diterima sangatlah dipengaruhi oleh fisik dan keberaniannya. Fisik
yang kecil, dan kerempeng menjadi incaran para pemilik kuda. Karena tubuhnya
yang ringan akan memudahkan kuda untuk membawanya lari hingga ke garis finish.
Oleh karena itu tidak jarang ada orang tua yang tega memberikan anaknya minuman
yang berasal dari air perahan abu bata merah agar pertumbuhan fisik si anak
(joki) menjadi terhambat. sehingga ia tetap terasa ringan di atas punggung kuda
pacuan. Padahal kuda pacuan mereka diberi air madu dan ramuan-ramuan lain
supaya kuda mereka menjadi kuat. Bukankah ini berarti bahwa kuda lebih berharga
dari pada manusia.Belum lagi ada anak yang terjatuh dan terinjak kuda di
litasan pacuan yang tentu saja membuat trauma si anak. (Gempar Sumbawa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar