Rabu, 13 Juni 2012

MENJADI JOKI CILIK PACUAN KUDA, HAK ANAK TERABAIKAN


SEPEKAN DI ARENA PACUAN KUDA, SUMBAWA (JUNI 2012)

Sebelumnya, kami pernah menulis tentang pendidikan dan kebudayaan yang tidak dapat terpisahkan. Pendidikan seyogyanya diberikan sejak masa kanak-kanak hingga dewasa bahkan pendidikan itu akan selalu  menyertai sampai manusia menemui ajalnya. Nampaknya, budaya yang dipertahankan oleh masyarakat pulau sumbawa (Pacuan Kuda) tidaklah berjalan selaras dengan pendidikan. Pendidikan beberapa anak bangsa yang sengaja di jadikan joki oleh orang tuanya amat memperihatinkan. Kita tahu bahwa pendidikan itu bukan hanya dilingkungan formal saja, namun lingkungan keluarga, bermain dan lingkungan sosial di masyarakat juga sangat besar pengaruhnya dalam membentuk karakter anak bangsa. Orang tua yang menyertakan anak mereka dalam hobi pacuan kuda tentu bukanlah perilaku yang baik. Malah mengorbankan hak anak untuk mendapatkan pendidikan di bangku sekolah. Tidak kurang dari satu minggu setiap kali ada pelaksanaan pacuan kuda, anak-anak (joki kuda) tidak bersekolah hanya karena iming-iming upah (Uang). Dengan kata lain, merekalah yang mencari nafkah untuk keluarganya meski mereka masih anak-anak.

Nasib anak-anak usia sekolah ini yang seharusnya menerima pendidikan formal seolah-olah dipaksa membantu orang tua mencari uang dengan profesi sebagai joki cilik di arena pacuan kuda. Padahal tidak seharusnya anak-anak seusia itu berada di arena pacuan kuda melainkan berada di sekolah untuk menuntut ilmu. 

Ketimpangan ini akhirnya menggelitik kami untuk crosscek ke lapangan. Terlihat kerumunan anak usia SD maupun SMP  menjadi penonton setia di arena pacuan kuda. Yang lebih memiris hati, mereka juga membaur dengan para orang-orang tua yang sedang berjudi di arena pacuan kuda. Sehingga tidak heran jikalau mereka (anak-anak) juga telah menjadi penjudi di arena pacuan kuda.

Keadaan ini telah berlangsung sekian lama dan dibiarkan saja seperti ini. Kompetisi pacuan kuda di kerato (arena pacuan) yang kami tahu selalu menyertakan kuda-kuda pacuan dari seluruh pulau sumbawa, bahkan tidak jarang ada kuda yang datang dari pulau lombok dan pulau bali. Tentu saja, ada andil yang sangat besar dari pemegang kekuasaan (si pemberi ijin pertandingan) sebelum kompetisi pacuan kuda dilaksanakan. Namun, kami menyangsikan apakah mereka tahu manfaat dan mudaratnya dari arena pacuan tersebut walaupun ijin selalu dikeluarkan. Barangkali selama ini kebanyakan kita hanya tahu bahwa pacuan kuda hanya sekedar olahraga. Namun kita tidak semuanya tahu kalau di arena tersebut terjadi "Perjudian" secara terang-terangan. Padahal perjudian terbuka seperti itu jelas-jelas melanggar hukum. Namun sayangnya keadaan ini terus saja berlangsung di arena yang juga terdapat pihak keamanan berseragam dari institusi resmi di negara ini.

Kurang lengkap rasanya, jikalau kami belum berbicara tentang pembentukan karakter anak di arena pacuan kuda. Di sini, pertumbuhan anak secara fisik maupun psikologi, sangatlah jauh dari nilai-nilai dan norma yang selalu kita jadikan landasan berbangsa dan bernegara. 

Untuk seorang joki cilik, bayaran yang diterima sangatlah dipengaruhi oleh fisik dan keberaniannya. Fisik yang kecil, dan kerempeng menjadi incaran para pemilik kuda. Karena tubuhnya yang ringan akan memudahkan kuda untuk membawanya lari hingga ke garis finish. Oleh karena itu tidak jarang ada orang tua yang tega memberikan anaknya minuman yang berasal dari air perahan abu bata merah agar pertumbuhan fisik si anak (joki) menjadi terhambat. sehingga ia tetap terasa ringan di atas punggung kuda pacuan. Padahal kuda pacuan mereka diberi air madu dan ramuan-ramuan lain supaya kuda mereka menjadi kuat. Bukankah ini berarti bahwa kuda lebih berharga dari pada manusia.Belum lagi ada anak yang terjatuh dan terinjak kuda di litasan pacuan yang tentu saja membuat trauma si anak. (Gempar Sumbawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar